Indonesia sebagai negara yang besar memiliki jumlah penduduk terbanyak ke-4 di antara anggota G20. Maka semestinya kesejahteraan rakyat jadi prioritas. Negara kita telah memiliki program Indonesia Sehat dengan target 2025 status gizi dan kesehatan meningkat.
Program Indonesia Sehat dilaksanakan dengan menegakkan tiga pilar utama, yaitu: (1) penerapan paradigma sehat, (2) penguatan pelayanan kesehatan, dan (3) pelaksanaan jaminan kesehatan nasional (JKN). Dalam implementasinya, keluarga adalah komponen terkecil tapi berpengaruh terhadap kesuksesan program tersebut.
Dilansir dari website kemkes.go.id dalam rangka pelaksanaaan Program Indonesia Sehat telah disepakati adanya 12 indikator utama untuk penanda status kesehatan sebuah keluarga. Kedua belas indikator utama tersebut adalah sebagai berikut.
1. Keluarga mengikuti program Keluarga Berencana (KB)
2. Ibu melakukan persalinan di fasilitas kesehatan
3. Bayi mendapat imunisasi dasar lengkap
4. Bayi mendapat air susu ibu (ASI) eksklusif
5. Balita mendapatkan pemantauan pertumbuhan
6. Penderita tuberkulosis paru mendapatkan pengobatan sesuai standar
7. Penderita hipertensi melakukan pengobatan secara teratur
8. Penderita gangguan jiwa mendapatkan pengobatan dan tidak ditelantarkan
9. Anggota keluarga tidak ada yang merokok
10. Keluarga sudah menjadi anggota Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
11. Keluarga mempunyai akses sarana air bersih
12. Keluarga mempunyai akses atau menggunakan jamban sehat
Sayang, beberapa orang tua masih harus mengalami diskriminasi sebab memiliki anak penderita down syndrome maupun kusta. Bentuk diskriminasi bisa berupa pemberian atribut khusus untuk membedakan mereka dengan yang tidak terjangkit. Bahkan, pernah ada kawasan pengasingan khusus penderita. Tentu hal ini bertentangan dengan tujuan Indonesia Sehat yang mengusahakan jaminan kesehatan adil bagi seluruh rakyat.
Diskusi KBR Lawan Stigma
Terkait masalah tersebut, KBR mengadakan diskusi lewat live YouTube bertajuk "Lawan Stigma untuk Dunia yang Setara". Sebelum membahas hasil diskusi KBR, kita perlu tahu serba-serbi kusta dan down syndrome.
Gejala Kusta
Dari halodoc.com penyakit Kusta disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae (M. leprae), sejenis bakteri yang tumbuh dengan lambat. Penularan kusta bisa melalui kontak kulit yang lama dan erat dengan pengidapnya.
WHO mengklasifikasikan kusta ke dalam 2 kelompok, yaitu:
- Pausibasiler atau biasa dikenal kusta kering : 1-5 lesi, kusta jenis ini menyebabkan rasa baal (mati rasa) yang jelas dan menyerang satu cabang saraf.
- Multibasiler atau dikenal kusta basah : lesi >5, kusta multibasiler tak seperti pausibasiler, rasa baalnya tidak jelas, dan menyerang banyak cabang saraf.
Gejala utama kusta, yaitu bercak perubahan warna menjadi lebih putih dan lesi di kulit berbentuk benjolan yang tidak hilang setelah beberapa minggu atau lebih. Lesi kuit juga disertai gejala kebas pada bagian tersebut dan kelemahan otot.
Jika menemui tanda-tanda seperti itu, segera hubungi dokter sebab pertumbuhan bakteri mempengaruhi penanganan obat.
Pengertian Down Syndrome
Ialah kelainan genetik yang menyebabkan penderitanya memiliki tingkat kecerdasan yang rendah dan kelainan fisik yang khas. Gejala down syndrome bisa ringan atau berat, bahkan dapat menyebabkan penyakit jantung. Data WHO memperkirakan 3000 hingga 5000 bayi terlahir dengan kondisi ini setiap tahunnya.
Live YouTube yang berlangsung tanggal 30 Maret 2022, menghadirkan dua narasumber yaitu dr. Oom Komariah, M. Kes sebagai ketua POTADS (Persatuan Orang Tua, Anak dengan Down Syndrome). Bila masyarakat atau para orang tua yang memerlukan informasi terkait POTADS bisa melalui nomor kontak admin POTADS di 081296237423. Serta Uswatun Khasanah, orang yang pernah mengalami kusta.
Beliau adalah penderita kusta basah dengan lima bercak pada anggota tubuh di usia 14 tahun. Respon keluarga tentu sedih dan kaget, untung mereka mendukung kak Uswatun untuk segera sembuh. Namun, pasti ada stigma dari lingkungan sekitar terhadap penyakit tersebut.
Beda lagi cerita dari dr. Oom soal anak dengan down syndrome. Biasanya si penderita akan dilabeli punya penyakit kejiwaan, idiot, tidak bisa berkembang. Ini membuat para orang tua dengan anak down syndrome cenderung menarik diri.
Berakar dari kenyataan tersebut, POTADS didirikan bertujuan memberi edukasi serta berfungsi sebagai support system. dr. Oom menambahkan untuk melawan stigma, keluarga harus mendukung minat anak sehingga dapat menunjukkan pada lingkungan sekitar bahwa penyintas down syndrome dapat berprestasi seperti yang lain.
Kesimpulan
Tugas melawan stigma pada penderita kusta dan down syndrome bukan hanya milik keluarga penderita tapi juga lingkungan sekitar dan segenap rakyat Indonesia. Hal-hal yang dapat dilakukan jika menemukan keluarga dengan penyintas adalah
1. Menyarankan hubungi ahlinya yaitu dokter agar dapat segera dilakukan diagnosa dan pengobatan.
2. Menginformasikan komunitas yang tepat seperti misal POTADS untuk para orang tua dengan anak down syndrome dan komunitas NLR untuk penyintas kusta.
3. Orang tua mesti berdamai bahwa anaknya penderita kusta atau down syndrome, jika sudah ada penerimaan maka orang tua dapat mengarahkan kegiatan anak yang sesuai minat dan kemampuannya sehingga anak dapat bertumbuh seperti manusia normal.
4. Membantu proses edukasi pada masyarakat, dalam instagram maupun website NLR dan POTADS dapat menjadi rujukan.
Selengkapnya bisa ditonton di sini
Komentar
Posting Komentar